Relima Menyala, Literasi Merata
Oleh: Ita Minarty
Di tengah derasnya arus globalisasi dan tantangan dunia digital, kemampuan literasi kini bukan sekadar perkara membaca dan menulis. Literasi telah menjadi kunci bagi bangsa yang ingin berdaya saing, beradab, dan bermartabat. Karena itu, kesetaraan akses terhadap literasi — baik literasi baca-tulis, digital, maupun keuangan — menjadi kebutuhan yang mendesak. Semua orang, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, budaya, atau kondisi fisik, berhak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, memahami, dan memanfaatkan informasi.
Bila bicara literasi, pikiran kita kerap langsung tertuju pada buku dan perpustakaan. Namun, di balik rak-rak buku dan ruang baca yang tenang, sesungguhnya tersimpan potensi besar dalam membangun masyarakat yang inklusif dan mandiri. Kini, perpustakaan bukan lagi sekadar tempat menyimpan buku. Ia telah berevolusi menjadi ruang belajar sepanjang hayat — tempat berbagi ilmu, berdialog, berkolaborasi, dan memberdayakan masyarakat.
Salah satu bentuk nyata dari semangat itu adalah lahirnya Relawan Literasi Masyarakat (Relima), sebuah gerakan yang tumbuh dari akar rumput sebagai bagian dari Transformasi Perpustakaan Berbasis Inklusi Sosial. Relima hadir untuk menghidupkan literasi di tengah masyarakat melalui kegiatan yang inovatif, inklusif, dan menyentuh langsung berbagai lapisan sosial. Mereka menggerakkan lapak baca dan pustaka keliling, menjangkau kawan-kawan difabel, mendampingi anak putus sekolah, memberi pelatihan bagi perempuan dan kelompok ekonomi lemah, hingga berkolaborasi dengan media untuk memperluas gaung gerakan literasi.
Salah satu kisah inspiratif datang dari Relima Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Di kota kelahiran BJ Habibie ini, Relima mengajak anak-anak binaan Taman Bacaan Masyarakat membaca nyaring di hadapan kawan difabel — sebagian besar tuna rungu dan tuna wicara. Momen itu bukan hanya melatih keberanian anak-anak untuk tampil percaya diri, tetapi juga menumbuhkan empati melalui komunikasi nonverbal: ekspresi wajah, gerak tubuh, dan bahasa isyarat sederhana. Suasana yang ceria dan interaktif membuktikan bahwa literasi bukan sekadar aktivitas membaca, melainkan sarana mempererat kebersamaan dan menumbuhkan penghargaan atas perbedaan.
Tidak berhenti di situ, Relima Parepare juga bekerja sama dengan KUA Kecamatan Ujung dalam kegiatan pernikahan massal. Mereka memberikan presentasi tentang pentingnya literasi keluarga — mulai dari komunikasi yang sehat, pengelolaan keuangan, hingga pola asuh anak yang cerdas dan penuh kasih. Dengan pendekatan sederhana, Relima menanamkan gagasan bahwa budaya membaca dapat menjadi fondasi keluarga yang harmonis dan produktif.
Kolaborasi terus diperluas. Bersama Forum Puspa (Partisipasi Publik untuk Kesejahteraan Perempuan dan Anak) dan DP3A Kota Parepare, Relima ikut dalam pemilihan Duta Puspa — pelopor dan konselor sebaya yang menjadi agen perubahan bagi perlindungan perempuan dan anak. Melalui pembekalan literasi inklusif dan pelatihan komunikasi, Relima memastikan para duta ini tumbuh menjadi generasi muda yang peduli dan berani bersuara untuk kebaikan bersama.
Perjalanan Relima tentu tidak mudah. Terbatasnya fasilitas, rendahnya minat baca, dan beragam kondisi sosial menjadi tantangan tersendiri. Namun dari situlah semangat kerelawanan itu menyala. Dengan kreativitas dan kolaborasi, para relawan terus mencari cara-cara baru untuk menumbuhkan minat baca dan memperkuat jejaring gerakan literasi.
Relima hadir bukan sekadar sebagai penggerak kegiatan, melainkan sebagai penjaga semangat kebersamaan dan inklusi. Mereka membuktikan bahwa literasi adalah jembatan menuju masyarakat yang berdaya, setara, dan berkeadilan. Dari tangan-tangan Relima yang tulus, api kecil literasi itu terus menyala — menyinari setiap sudut negeri agar cahaya pengetahuan merata bagi semua.