Gelombang demonstrasi besar yang terjadi akhir-akhir ini membuat sekolah-sekolah di beberapa daerah terpaksa meliburkan kelas tatap muka, sebagian beralih ke pembelajaran daring, sementara yang lain memilih menunggu situasi lebih aman. Keputusan ini memang wajar demi menjaga keselamatan, tetapi ada pertanyaan penting yang tidak boleh diabaikan, apakah guru dan orang tua hanya akan diam, atau justru menjadikan momen ini sebagai ruang belajar tentang demokrasi, empati, dan harapan?
Pendidikan sejatinya tidak hanya soal menyelesaikan kurikulum, tetapi juga membekali anak dengan kemampuan memahami realitas. Peristiwa demo yang ramai diberitakan adalah kesempatan emas untuk itu. Guru bisa memulai pembelajaran dengan cara sederhana: tanyakan kepada murid apa yang mereka dengar dan rasakan tentang demo. Pertanyaan ringan seperti “Apa yang kamu tahu tentang demo kemarin?” atau “Bagaimana perasaanmu saat mendengar berita itu?” bisa membuka ruang aman bagi anak untuk bercerita. Tugas guru adalah mendengarkan, bukan langsung memberi ceramah panjang.
Orang tua pun bisa melakukan hal serupa di rumah. Ajak anak berbicara santai sambil makan malam atau menonton berita. Biarkan mereka mengungkapkan rasa takut, bingung, atau bahkan marah. Tugas orang tua adalah memberi rasa tenang, menjelaskan dengan bahasa sederhana bahwa demo adalah cara masyarakat menyampaikan pendapat, tetapi tetap harus dilakukan dengan damai. Dengan begitu, anak belajar memahami situasi tanpa kehilangan rasa aman.
Guru dan orang tua juga bisa mengarahkan anak untuk berpikir kritis. Misalnya, tanyakan, apa arti keberanian yang damai? Mengapa kekerasan merugikan semua pihak? Diskusi singkat ini akan menanamkan pemahaman bahwa demokrasi sejati bukan kericuhan di jalan, melainkan keberanian untuk bersuara dengan cara yang menghargai orang lain.
Di era banjir informasi, anak-anak juga perlu dilatih membedakan fakta dan hoaks. Guru bisa memberi contoh sederhana di kelas: “Hari ini lalu lintas padat karena ada demo” adalah fakta yang bisa dicek langsung. Sebaliknya, “Besok semua sekolah di Indonesia akan tutup” adalah hoaks jika tidak ada keputusan resmi. Orang tua di rumah pun bisa mengajak anak membandingkan berita dari dua sumber berbeda, lalu mendiskusikan mana yang lebih dapat dipercaya. Dengan latihan kecil ini, anak belajar melawan kabar bohong dengan kebenaran, bukan dengan emosi.
Agar pembelajaran terasa lebih positif, guru maupun orang tua dapat menutup percakapan dengan mengajak anak menuliskan satu kalimat harapan untuk Indonesia. Anak SD bisa menulis sederhana, seperti “Aku ingin Indonesia aman” atau “Aku ingin Indonesia jujur.” Sementara anak SMP dan SMA bisa menulis refleksi lebih dalam tentang demokrasi dan masa depan bangsa. Latihan singkat ini tidak hanya menyalakan optimisme, tetapi juga membiasakan anak untuk punya kepedulian terhadap Negeri.
Peristiwa demo yang sedang berlangsung memang menimbulkan keresahan, bahkan korban jiwa dan luka-luka. Namun, di balik itu semua, ada peluang besar bagi pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah. Guru dan orang tua tidak harus memiliki semua jawaban. Yang terpenting adalah mendengarkan anak, memberi ruang aman untuk bertanya, dan mengarahkan mereka pada cara berpikir yang sehat. Dengan begitu, kita menyiapkan generasi yang paham arti demokrasi tanpa kekerasan, terbiasa berpikir kritis terhadap informasi, dan berani menyuarakan harapan untuk masa depan.
Pada akhirnya, kelas dan rumah bukan hanya ruang akademik atau tempat beristirahat, melainkan juga ruang demokrasi kecil yang bisa menyalakan cahaya ketika bangsa sedang diuji oleh gelapnya krisis.