Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani baru-baru ini soal rendahnya gaji guru dan dosen, serta pertanyaan apakah seluruh pembiayaan profesi ini harus ditanggung Negara, memicu gelombang reaksi publik. Media sosial penuh komentar yang mempertanyakan prioritas anggaran Negara dan rasa keadilan dalam pengelolaan APBN.
Sebagai seorang Dosen, saya memahami bahwa pernyataan ini menyentuh persoalan fundamental yakni bagaimana Negara memandang pendidikan apakah sebagai beban atau sebagai investasi jangka panjang?
Mandat Konstitusi yang Jelas
Pasal 31 Ayat (4) UUD 1945 tegas menyebutkan bahwa:
"Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pendidikan nasional."
Artinya, membiayai pendidikan, termasuk memberi penghargaan layak kepada Guru dan Dosen, bukanlah kebaikan hati pemerintah, melainkan mandat konstitusional.
Tahun 2025, pemerintah mengalokasikan Rp 724,3 triliun (20% APBN) untuk pendidikan.Namun, besarnya angka ini sering tidak dirasakan langsung oleh tenaga pendidik karena terbagi ke berbagai program dan belanja rutin.
Guru dan Dosen Adalah Pondasi Bangsa
Di Jepang, Guru menempati posisi setara atau bahkan lebih tinggi daripada insinyur atau Dokter. Data OECD (2023) menunjukkan, rata-rata gaji Guru di Jepang setara 1,4 kali PDB per kapita Negaranya. Di Finlandia, Guru dan Dosen mendapatkan tunjangan riset, pelatihan, serta perlindungan hukum yang kuat.
Bandingkan dengan Indonesia, menurut data BPS dan Kemendikbud (2024), rata-rata gaji Guru honorer hanya sekitar Rp 1–2 juta per bulan, dan banyak Dosen non-PNS menerima gaji di bawah Rp 5 juta, padahal tuntutan profesionalisme, pendidikan tinggi (S2/S3), serta beban kerja mereka sangat besar.
Publik mempertanyakan, mengapa anggaran besar bisa dikeluarkan untuk proyek infrastruktur prestisius atau fasilitas pejabat, tetapi pemberian gaji layak bagi pendidik sering dianggap membebani Negara?
Data dari Kementerian Keuangan (2024) menunjukkan, tunjangan dan fasilitas DPR per anggota bisa mencapai lebih dari Rp 80 juta per bulan, belum termasuk fasilitas mobil dinas, perjalanan, dan lainnya. Angka ini kontras jika dibandingkan dengan banyak Guru yang bahkan harus mengajar di dua atau tiga sekolah demi memenuhi kebutuhan hidup.
Sesungguhnya Pendidikan adalah Investasi bukanlah pengeluaran. Sebab
Menggaji Guru dan Dosen dengan layak adalah bentuk investasi.
World Bank (2022) menyebutkan, setiap peningkatan kualitas pendidikan sebesar 1% dapat menaikkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang hingga 0,3%. Artinya, kualitas SDM yang baik akan berdampak langsung pada daya saing ekonomi bangsa.
Pemotongan atau pengabaian anggaran bagi pendidik justru akan menciptakan “biaya sosial” yang jauh lebih besar di masa depan, mulai dari rendahnya kualitas lulusan, produktivitas rendah, hingga ketertinggalan inovasi.
Sebagai Dosen, saya berharap pemerintah menempatkan profesi pendidik sebagai prioritas Nasional. Penghargaan finansial yang layak akan menarik talenta terbaik masuk ke dunia pendidikan, mencegah brain drain, dan memastikan generasi muda mendapat bimbingan dari Guru dan Dosen berkualitas.
Pendidikan bukan sekadar pos belanja Negara. Pendidikan adalah pondasi peradaban. Negara maju bukan karena jalan tol atau gedung megahnya, tetapi karena kualitas Guru dan Dosennya. Dan kualitas itu lahir dari penghargaan yang sepadan, baik secara moral maupun finansial.