Pasang Iklan Anda Di Sini
Scroll untuk melanjutkan membaca
Ad

Poligami vs Kurban Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan Siti Haj

 

Oleh : DR.Putri Dewi, S.PdI.,M.Pd. _ Dosen STAI DDI Parepare


Mizannews.id--Jumat pagi, 10 Dzulhijjah 1446 H / 6 Juni 2025. Langit Parepare diliputi awan sejuk dan gema takbir yang bergetar hingga ke relung hati. Ribuan umat Islam memadati Lapangan Andi Makkasau untuk menunaikan salat Iduladha, hari raya pengorbanan, hari ketika sejarah iman dan cinta kepada Allah diabadikan lewat kisah seorang ayah, seorang anak, dan seorang ibu.

Khatib pagi itu, Ustaz Dr. H. Luqman Ali, M.Th.I, dosen Universitas Negeri Makassar menyampaikan satu kalimat yang membekas di benak banyak orang:

 “Poligami, banyak yang mau tapi tak mampu. Kurban, banyak yang mampu tapi tak mau.”

Seketika, jamaah terdiam. Kalimat itu bukan hanya sindiran, tapi cermin. Banyak laki-laki bersemangat menikah lagi, seolah itu hak penuh yang bisa diambil kapan saja. Padahal Allah telah mengingatkan:

 فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً

Fa in khiftum allā tuqsiṭū fa wāḥidah

“…Jika kamu takut tidak bisa berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja…”

(QS. An-Nisa: 3)

Tafsir ayat ini jelas: poligami hanya untuk yang benar-benar mampu secara emosi, finansial, dan spiritual. Dan keadilan bukan hal sepele, bahkan Nabi SAW sendiri memperingatkan keras bagi yang gagal berlaku adil di antara istri-istrinya.

Tapi di sisi lain, ibadah kurban yang jelas-jelas disyariatkan, bisa dibayar, dan penuh pahala… malah banyak yang mampu, tapi tak mau. Daging kurban bukan untuk Allah. Tapi ketakwaan dan pengorbananlah yang Allah cari.

 لَنْ يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقْوَىٰ مِنكُمْ

Lan yanālal-lāha luḥūmuhā wa lā dimā`uhā wa lākin yanāluhut-taqwā minkum

“Daging dan darah (hewan kurban) itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan dari kalian.”

(QS. Al-Hajj: 37)

Idul Adha bukan soal daging. Tapi soal siapa yang siap menyembelih egonya, dan siapa yang siap mengorbankan sesuatu yang dicintainya demi Allah.

Dan Di Antara Mereka: Ada Seorang Perempuan

Di antara para lelaki yang jadi tokoh utama dalam sejarah kurban, ada satu nama yang sering dilupakan: Siti Hajar. Ia bukan nabi, bukan rasul. Tapi tanpa dirinya, tidak akan ada cerita Ibrahim dan Ismail.

Coba bersama kitab bayangkan jika ditinggal di tengah padang pasir tandus oleh suaminya, tanpa rumah, tanpa bekal yang cukup, hanya bersama bayi yang belum bisa berbicara. Tapi Hajar tidak menangis histeris, tidak menuduh suaminya jahat, tidak memaki keadaan. Ia hanya bertanya, dengan suara tenang:

"Apakah ini perintah Allah?"

Ketika Ibrahim mengangguk, ia menjawab:

 “Jika ini perintah Allah, maka Dia tidak akan menelantarkan kami.”

Kalimat itu bukan pasrah buta. Itu adalah iman yang hidup. Dan dari iman itulah muncul aksi: Hajar berlari tujuh kali dari Shafa ke Marwah, bukan sekali dua kali. Ia berjuang, berdoa, berikhtiar

dan dari kakinya, Allah pancarkan zam-zam. Air yang hingga kini, masih menjadi simbol keberkahan dan pengorbanan.

Ibu dari Generasi Para Nabi

Siti Hajar bukan hanya seorang ibu. Ia adalah cikal bakal lahirnya Nabi Ismail, dan dari keturunan Ismail, lahir Nabi Muhammad SAW. Dialah ibu dari generasi pembawa cahaya.

Ia mengajarkan bahwa peran seorang ibu bukan hanya di dapur atau di belakang layar. Tapi di jantung perjuangan, di tengah badai kehidupan, ibu bisa menjadi pejuang paling kuat 

dengan iman sebagai pedangnya, dan kesabaran sebagai tamengnya.

Hari ini, banyak perempuan merasa sendiri dalam mendidik anak. Merasa lelah, terabaikan, bahkan disepelekan. Tapi dari Hajar kita belajar: kesendirian bukan kehinaan. Justru di situlah keimanan diuji dan ditinggikan.

Mari mengikat hati Kita di Hari Raya 

Coba tanyakan lagi pada diri pada diri:

Sudahkah kita berani berkurban, atau kita hanya sibuk mencari kenyamanan?

Sudahkah kita berlaku adil dalam keputusan hidup, atau hanya mengikuti nafsu?

Sudahkah kita, sebagai orang tua, mendidik anak dengan iman seperti Hajar mendidik Ismail?

Maka jika engkau laki-laki, belajarlah dari Ibrahim yang sanggup mengorbankan putranya demi Allah.

Jika engkau anak, belajarlah dari Ismail yang berkata: "Laksanakan perintah Allah, Ayah."

Dan jika engkau perempuan, belajarlah dari Hajar perempuan biasa yang dijadikan luar biasa oleh imannya.

Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H.

Semoga kita bukan hanya tahu cerita kurban, tapi benar-benar siap menjadi bagian dari kisah pengorbanan itu.

Baca Juga
Tag:
Berita Terbaru
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
  • Poligami vs Kurban  Refleksi Idul Adha 1446 H: Belajar dari Ibu Segala Pengorbanan   Siti Haj
Posting Komentar
Ad
Ad