Oleh: Dr.Putri Dewi, S.Pd.,M.Pd - Dosen STAI DDI Parepare
MIZANNEWS, Tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Momentum ini seharusnya menjadi titik refleksi bagi kita semua: sudah sejauh mana pendidikan membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sehat secara spiritual dan emosional.
Namun, di tengah semangat kemajuan, muncul sebuah fenomena yang justru mengancam esensi pendidikan itu sendiri
yakni, toxic productivity. Sebuah istilah yang menggambarkan budaya kerja atau belajar yang berlebihan hingga mengabaikan kesehatan fisik, mental, bahkan spiritual. Pelajar merasa bersalah jika tidak belajar terus-menerus. Mahasiswa tertekan untuk selalu produktif. Para pekerja mengejar target tanpa jeda. Seolah-olah nilai diri hanya ditentukan oleh seberapa sibuk dan seberapa besar pencapaian yang ditorehkan.
Dalam konteks ini, pendidikan Islam memiliki tawaran yang luhur:
yaitu konsep ihsan
bekerja dan berkarya dengan kesungguhan dan keikhlasan, dalam bingkai pengawasan Allah SWT.
Islam dan Etos Produktivitas
Islam tidak menolak semangat kerja keras. Bahkan, Al-Qur’an memerintahkan umat Islam untuk bertebaran mencari rezeki setelah menunaikan ibadah:
> "Apabila salat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah..."
(QS. Al-Jumu’ah: 10)
Namun Islam juga sangat menekankan keseimbangan. Produktivitas yang benar bukan sekadar sibuk, tetapi juga mengandung nilai berkah dan niat yang lurus. Allah tidak hanya menilai hasil, tetapi juga proses dan niat seseorang. Inilah yang membedakan antara sekadar produktif dan berkarya dalam kerangka ihsan.
Ihsan: Jawaban atas Budaya Toxic
Konsep ihsan sebagaimana dijelaskan dalam hadis :
> “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
(HR. Muslim)
Ihsan mengajarkan bahwa setiap aktivitas kita
termasuk belajar, mengajar, dan bekerja
bisa bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan kesungguhan. Ini adalah landasan untuk membangun etos kerja Islami yang sehat: produktif, tapi tetap manusiawi.
Alih-alih bekerja untuk popularitas, pujian, atau target semu, konsep ihsan mengarahkan manusia untuk bekerja dengan hati yang tenang dan niat yang ikhlas. Inilah yang perlu ditanamkan dalam dunia pendidikan kita hari ini.
Pendidikan yang Membebaskan, Bukan Membebani
Dalam semangat Hari Pendidikan Nasional, penting bagi kita untuk mengevaluasi sistem pendidikan saat ini: Apakah kita sedang mendidik generasi yang hanya pandai mengejar nilai, ataukah generasi yang paham makna? Apakah pendidikan kita hanya memacu kecepatan, ataukah juga menumbuhkan kesadaran?
Ki Hajar Dewantara pernah menyampaikan bahwa pendidikan adalah proses menuntun segala kekuatan kodrat anak agar mereka mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Artinya, pendidikan seharusnya membebaskan, bukan membebani. Membentuk manusia utuh, bukan hanya mesin kerja.
Pendidikan yang Islami dan bermakna harus mampu menumbuhkan kesadaran bahwa hidup bukan hanya tentang pencapaian duniawi, tetapi juga tentang niat, keberkahan, dan tanggung jawab spiritual. Pendidikan dalam spirit ihsan akan melahirkan generasi yang berkarya karena cinta bukan karena tekanan. Bekerja karena ingin memberi manfaat, bukan sekadar menghindari kegagalan.
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi pengingat bahwa mendidik bukan hanya tentang apa yang diajarkan, tapi bagaimana kita menanamkan nilai hidup, terutama keikhlasan dan integritas spiritual. Inilah yang akan menjadi bekal sejati dalam menghadapi dunia yang terus berubah.