BREAKING NEWS
IKLAN

"Negara di Persimpangan Etika: Antara Ijazah, Amanah, dan Kebohongan yang Diinstitusikan"

Oleh : Gustam, S.Pd.,M.Pd. 

(Sekertaris KMBP, Sekertaris FMB Parepare dan Pemerhati Sosial)

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan berbangsa dan bernegara, publik kembali diguncang oleh polemik yang tak kunjung usai: dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo. Isu ini bukan semata-mata soal selembar dokumen akademik, melainkan menyentuh nadi kepercayaan publik terhadap integritas pemimpin, kredibilitas institusi, dan legitimasi kekuasaan itu sendiri.

Jika benar adanya bahwa pemimpin negeri ini membangun kekuasaannya di atas kebohongan administratif, maka itu adalah luka besar dalam wajah demokrasi kita. Ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pengkhianatan terhadap tatanan sosial, politik, bahkan moral bangsa.

Dalam sebuah hadis yang sangat relevan dengan kondisi hari ini, Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ، يُصَدَّقُ فِيهَا الْكَاذِبُ، وَيُكَذَّبُ فِيهَا الصَّادِقُ، وَيُؤْتَمَنُ فِيهَا الْخَائِنُ، وَيُخَوَّنُ فِيهَا الْأَمِينُ، وَيَنْطِقُ فِيهَا الرُّوَيْبِضَةُ

قِيلَ: وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ؟ قَالَ: الرَّجُلُ التَّافِهُ يَتَكَلَّمُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ

(رواه أحمد)

Artinya:

Akan datang kepada manusia tahun-tahun penuh penipuan. Saat itu pendusta dipercaya, orang jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah, dan orang amanah justru dianggap berkhianat. Dan saat itu, akan berbicara orang-orang Ruwaibidhah.

Ada yang bertanya: "Siapa Ruwaibidhah itu?" Beliau menjawab: "Orang bodoh yang berbicara tentang urusan publik."

📚 HR. Ahmad (no. 8493)

Hadis ini seakan menggambarkan realitas kita hari ini. Di mana yang bohong dipuja, yang jujur dicurigai, pengkhianat dielu-elukan, dan yang amanah dikorbankan.

Isu ijazah ini bukan muncul dalam ruang hampa. Ia datang setelah berlapis kebohongan lain yang perlahan terkuak di era kepemimpinan Jokowi: dari mitos mobil Esemka, janji tidak berpolitik anak-anaknya, jaminan tidak ada impor pangan, hingga slogan-slogan kosong seperti “membuka lapangan kerja”, padahal yang terjadi adalah ledakan PHK dan ketergantungan pada investor asing.

Lebih parah lagi, hukum dipermainkan, politik menjadi alat transaksi, rakyat, aktifis, pembungkaman jurnalis, bahkan ulama dikriminalisasi karena kritik, dan aparat penegak hukum berubah menjadi alat kekuasaan, bukan penegak keadilan.

Dalam konteks ini, ijazah menjadi simbol paling telanjang dari kebohongan yang dilembagakan. Mestinya, ini persoalan sederhana. Jika memang asli, buktikan secara terang benderang, bukan bertele-tele hingga masuk ke jalur hukum. Mengapa justru pelapor dan peneliti uji forensik ijazah yang dilaporkan balik? Apakah ini wajah seorang negarawan? Ataukah inilah wajah rezim yang telah kehilangan malu?

Seorang pemimpin bukan hanya dituntut cakap memerintah, tetapi haruslah jujur sejak dari jejak awalnya. Kebohongan yang dibiarkan akan membentuk sistem kebohongan yang lebih besar. Dan bila kebohongan menjadi norma dalam kekuasaan, maka rakyatlah yang paling menderita.

Hari ini, bangsa kita berdiri di simpang jalan antara menegakkan kejujuran atau menormalisasi tipu daya. Jika kita biarkan kebohongan ini berlalu tanpa pertanggungjawaban, maka jangan salahkan sejarah jika kelak mencatat kita sebagai generasi yang gagal menjaga martabat Republik.


Posting Komentar
ADVERTISEMENT
Designed by MIZAN NEWS
ADVERTISEMENT
Designed by MIZAN NEWS