80 Tahun Indonesia Merdeka "Keadilan Sosial hanya Bagi Segelintir Orang"
Oleh :Dr. Putri Dewi, S.P.dI,.M.Pd
Delapan puluh tahun sejak proklamasi, Indonesia terus berkibar. Tapi di balik sorak-sorai perayaan, pertanyaan besar masih menggantung, apakah kemerdekaan ini sungguh milik seluruh rakyat, atau hanya segelintir orang?
Suatu kondisi dimana rakyat kecil yang masih terhimpit
Petani menghadapi harga pupuk yang kian mahal, sementara hasil panen jatuh saat musim raya. Nelayan terbebani solar yang mencekik dan permainan harga pasar. Buruh dan pedagang kecil melihat harga beras dan minyak naik, sementara penghasilan tetap. Mereka adalah tulang punggung bangsa, tapi justru hidup mereka yang paling rapuh.
Padahal, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 jelas menyatakan “Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Nyatanya, hak ini masih jauh dari terwujud.
Potret pendidikan yang Belum Merata padahal
Kemerdekaan sejati juga berarti terbebas dari kebodohan. Namun, akses pendidikan masih timpang. di kota besar, sekolah dengan fasilitas lengkap dan akses internet melimpah sedangkan di pelosok masih ada ruang kelas reyot, kekurangan tenaga pengajar, dan anak-anak berjalan kilometer hanya untuk bersekolah.
Seakan, kualitas masa depan masih ditentukan oleh kode pos tempat lahir. Padahal, Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menegaskan “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Jika hak dasar ini belum dirasakan merata, maka kemerdekaan kita masih separuh jalan.
Jakarta dan kota besar berkilau dengan gedung tinggi, jalan tol, dan layanan publik modern. Tapi di banyak daerah, jalan rusak, jembatan rapuh, air bersih sulit, bahkan listrik belum stabil. Data BPS (Maret 2025) menunjukkan gini ratio nasional 0,375 di perkotaan lebih timpang (0,395) dibanding perdesaan (0,299). Jakarta bahkan mencatat ketimpangan tertinggi, 0,441.
Ini membuktikan ada dua wajah Indonesia, satu terang di pusat, satu lain terabaikan di pinggiran. Padahal, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebut: “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Tetapi, kemakmuran itu belum dinikmati merata.
Di ranah politik kursi-kursi kekuasaan kerap jatuh bukan kepada mereka yang ahli, melainkan yang dekat. Ada kursi yang diwariskan, ada jabatan yang diberikan sebagai balas jasa. Padahal, amanah bangsa harusnya ditempati oleh orang-orang yang memiliki keahlian, kapasitas manajerial, integritas, serta rekam jejak profesional di bidangnya.
Bangsa ini hanya akan maju bila jabatan publik diisi mereka yang benar-benar paham urusannya, mampu membuat kebijakan yang adil, dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Bung Karno pernah mengingatkan: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Dan Sultan Hasanuddin berpesan “Pantang mundur selangkah pun selama matahari masih bersinar.” Kedua pesan ini jelas: pemimpin sejati adalah mereka yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk lingkaran kecilnya.
Lantas untuk Siapa Kemerdekaan Ini?
Delapan puluh tahun Indonesia merdeka, tapi sila kelima Pancasila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sering terasa hanya menjadi keadilan sosial bagi segelintir orang.
Indonesia baru benar-benar merdeka bila Petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil hidup layak.
Pendidikan dan kesehatan bisa diakses merata, dari kota hingga pelosok.
Pembangunan tidak berhenti di pusat, tapi menyebar ke daerah.
Kekuasaan dipegang oleh mereka yang ahli, berintegritas, dan sungguh mengabdi.
Hanya saat itu, kita bisa berdiri tegak di bawah Merah Putih dan berseru lantang
"Indonesia merdeka untuk semua, bukan hanya untuk segelintir orang.