Refleksi Bincang Buku “Tahun Penuh Gulma” (Menanam Integritas, Mencegah Luka yang Berulang)
MIZANNEWS.ID_Parepare, 18 Juni 2025, Perpustakaan Umum Panrita Kota Parepare kembali menjadi ruang
tumbuhnya kesadaran kritis melalui bincang buku Tahun Penuh Gulma
karya Sidharta Sarma, yang digelar bekerja sama dengan Klub Baca Sampan.
Kegiatan ini menghadirkan dua penutur reflektif, Ilham Mustamin dan Darja
Miharja, yang membedah narasi perjuangan masyarakat Gondi di India dalam
mempertahankan tanah leluhur mereka dari ekspansi perusahaan tambang yang
didukung negara.
Kepala Dinas Perpustakaan Kota
Parepare, Drs. H. Ahmad Masdar, M.Si,
yang hadir membuka acara, menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap
kegiatan ini.
“Pemerintah Kota Parepare
melalui Dinas Perpustakaan Umum memfasilitasi dan mengapresiasi kegiatan
seperti ini sebagai bentuk pelayanan literasi yang tidak hanya berhenti pada
membaca, tetapi juga membangun pemahaman, empati, dan kesadaran kritis
masyarakat terhadap isu-isu sosial yang aktual,” ujarnya.
Buku Tahun Penuh Gulma
membawa kita pada kisah penuh luka masyarakat adat Gondi yang harus menghadapi
penggusuran dan perampasan ruang hidup atas nama pembangunan. Meskipun
konteksnya berada di India, kisah ini menyinggung nurani kita tentang apa yang
juga pernah, dan sedang, terjadi di Negeri sendiri.
Contoh nyata dapat dilihat pada
pertambangan di Raja Ampat, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) I
di Sidrap. Proses dialog memang dilakukan, namun tidak semua suara masyarakat
mendapat ruang yang setara. Lahan-lahan hijau dan ekosistem yang sebelumnya
menjadi tempat tumbuh kehidupan kini berubah menjadi kawasan industri namun di
sisi lain membuka lapangana kerja bagi masyarakat. Semua ini mengingatkan kita
bahwa pembangunan tanpa kepekaan sosial dan keberlanjutan justru dapat
menciptakan luka baru yang dalam dan menggugah kesadaran bahwa proses
pembangunan tidak boleh mengabaikan nilai, keadilan, serta keberlanjutan.
Sebagai akademisi yang hadir
malam itu, saya menilai bahwa kegiatan ini bukan hanya sarana berbagi opini,
tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab moral. Dalam menyampaikan kritik
terhadap kebijakan atau proyek pembangunan, para penutur dan peserta diskusi
perlu menjaga posisi sebagai pemersatu bukan sebagai pemecah serta mampu
menyampaikan sebuah nilai-nilai yang tersirat dan berharga untuk dijadikan
sebuah pelajaran hidup yang lebih bermakna. Di sinilah pentingnya membangun sinergi antara ulama, umara, dan ummat
agar muncul dialog yang sehat, penuh empati, dan berorientasi pada
perbaikan bersama.
Saya juga melihat diskusi ini
sebagai bentuk kepekaan intelektual dan sosial yang perlu terus difasilitasi.
Namun lebih dari itu, saya ingin menegaskan pentingnya integritas. Integritas bukan hanya
slogan moral, tetapi nilai dasar yang menjaga keputusan publik dari jebakan
pragmatisme bisnis. Integritas membuat pemimpin dan pengambil kebijakan tidak
mudah tergoda oleh keuntungan jangka pendek. Tanpa integritas, keputusan akan
kehilangan arah, kepercayaan publik merosot, dan ruang hidup rakyat terancam
atas nama kemajuan yang semu.
Segala yang telah terjadi
semestinya menjadi bahan evaluasi
kolektif. Jangan sampai kita terus berhadapan dengan dampak
tanpa pernah memperkuat pencegahan. Sebuah pertanyaan menggelitik perlu kita
renungkan Bersama “Apakah gulma sebaiknya dibiarkan tumbuh dulu, baru kita
sadari betapa liarnya ia merambat dan merusak semua yang telah kita tanam?”
Ini bukan hanya pertanyaan, melainkan tamparan halus agar kita membangun
kesadaran lebih awal, sebelum semuanya terlambat. Pertanyaan ini sekaligus
menyentil pentingnya memperkuat pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan yang bukan hanya berisi hafalan
norma dan hukum, tetapi benar-benar ditanamkan sebagai kesadaran batin akan
arti tanggung jawab dan integritas.
Karena hari ini, kita melihat fenomena
menyedihkan antara lain banyak yang berilmu tinggi, menguasai teknologi dan
regulasi, namun gagal menjaga integritas, akhirnya terlibat
dalam penyimpangan kekuasaan, korupsi, manipulasi kebijakan, bahkan
pengkhianatan terhadap masyarakat yang seharusnya mereka layani. Ilmu tanpa
integritas hanyalah alat yang bisa dipakai ke arah mana saja termasuk pada
jalan yang merusak.
Sebagai penutup kegiatan, Hery Syahrullah, Pustakawan DISPERPUS
yang juga bertindak sebagai moderator malam itu, menyampaikan pandangan
reflektifnya bahwa
“Diskusi ini mengajak kita
merenungkan bahwa ketika tambang hadir dengan dukungan Negara, lalu masyarakat
yang menggantungkan hidup pada tanah itu justru tergeser, di mana letak
legitimasi kekuasaan itu berdiri? Buku Tahun Penuh Gulma tidak sekadar
menyampaikan cerita tentang tanah, tetapi juga mempertanyakan nilai dari
kekuasaan yang kehilangan keberpihakan..”